“Kisah pendiri Sekolah Tinggi Teknologi di Pesantren Cipasung”
Ditulis oleh Abdul Chobir
Latar belakang Pesantren
Cerita ini mudah-mudahan lebih melengkapi beranekaragamnya alumni ITB angkatan 77. Saya dibesarkan dilingkungan pesantren tarekat di sebuah kampung kecil di Tulungagung, Jawa Timur. Ayah saya adalah seorang guru tarekat (mursyid). Seperti kebanyakan yang terjadi dengan anak dari seorang mursyid, masa SD sampai SMA saya dihabiskan dengan pendidikan ke-pesantren-an dengan harapan nantinya saya akan meneruskan pesantren yang telah dirintis oleh ayah, kakek, dan buyut saya.
Dengan alasan yang sama, setelah saya lulus dari SMPPN Tulungagung (sekarang SMA 1 Tulungagung), saya dititipkan di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta.
[Chobir kecil sesaat setelah menerima penghargaan sebagai juara MTQ anak-anak
di Mesjid Agung Tulungagung (1970)]
“Terdampar” di Bandung dan kuliah di ITB
Namun kemudian, di Krapyak saya malah mengikuti test ujian masuk perguruan tinggi SKALU
yang bertempat di Jurusan Biologi UGM. Ternyata saya diterima di FMIPA ITB angkatan 1977.
akhirnya sayapun berkuliah di ITB.
Di Bandung saya banyak beraktivitas di Salman karena pesan orangtua saya supaya tidak jauh-jauh dari mesjid. Kegiatan utama saya sebagai tukang adzan (muadzin), guru ngaji, sesekali jadi imam mesjid. Beberapa dari aktivitas saya selama di kampus adalah ikut unit Pers Kampus, mengurus Toko Buku Ganesha Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa Bandung, juga mengikuti kegiatan di Yayasan Swadaya Muda, yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi tepat guna dan pelayanan sosial.
Mendapat Penghargaan Kalpataru & “kecantol” putri Kyai
Teman-teman di Swadaya Muda banyak merintis kegiatan teknologi tepat guna melalui pesantren, karena dianggap pesantren merupakan lembaga yang masih mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat pedesaan, dengan harapan teknologi tepat guna itu bisa disebarluaskan melalui pesantren-pesantren tadi. Contohnya dengan membuat MCK dengan bambusemen (menggunakan bambu sebagai kerangka beton), penjernihan air dan lain-lain. Bahkan salah satu kegiatan penjernihan air yang dibuat di Cipasung mendapat hadiah Kalpataru 1980.
Sekitar tahun 1982 saya malah lebih sering bolak-balik Bandung-Tasikmalaya bergantian dengan teman-teman, diantaranya : Hartoko (SI 77), Triyono (FI 77), Andi Eka (FI 77), Saul (FT 77), Ali Fikri (TI 77) dan lain-lain untuk memberikan bimbingan belajar kepada siswa-siswi kelas III SMA Islam Cipasung. Lha kok saya malah akhirnya kecantol sama putrinya pak Kyai (KH.Moh Ilyas Ruhiat).
Jadi Mantu Ajengan
Dua hari menjelang wisuda, Kamis 24 Maret 1983, jam 19.00, di malam jum’at yang sakral itu saya memasuki gerbang rumah tangga, dalam sebuah acara akad nikah yang sederhana dengan diantar keluarga, teman-teman Salman dan teman-teman seangkatan – yang waktu di kampus suka ngobrol-ngobrol/diskusi masalah-masalah sosial keagamaan dengan menamakan diri “Mabrur 77”. Diantara yang hadir dan menyaksikan acara akad nikah kami adalah : Indratmo (SI 77), Cahyono (SI 77), Saiful Halim (SI 77), Hartoko (SI 77), Suprayudi (SI 77), Gatot Trilaksono (TK 77), Wafroni (SI 77), Ahsin (MS 77), Syahril (SI 77), Idwan (SI 77), Eddy Sugiarto (GL 77), Wahdan
Darwani (TL 77), Ali Fikri (TI 77), Leonarda (SI 77), Agus Trisantosa (EL 77), Agus Supangat (GM 77) (.Maaf ya bagi yang nggak kesebut namanya, maklum sudah mau jadi kakek).
Jadi sebelum di wisuda tanggal 26 maret 1983, saya sudah punya gelar MA (mantu ajengan). Berikut ini foto-foto pernikahan seorang Mahasiswa ITB dengan putri seorang Kyai pesantren:
Sambil menemani isteri kuliah di IKIP Bandung, yang baru semester 2, saya ikut membantu kegiatan di Lembaga Pendidikan Islam Salman, mengajar di Unisba, Uninus dan Unla. Selain bolak-balik Cipasung – Bandung, saya mulai ikut kegiatan-kegiatan di pesantren, disamping sering diajak mendampingi pak Kyai untuk ikut menghadiri acara-acara Nadhatul Ulama (NU). Dari tahun 1983 sampai dengan 1987 kegiatan-kegiatan itu saya jalani, dan diantaranya saya mulai banyak bergaul, bertemu dalam forum-forum dengan kalangan pesantren, dan NU.
Membuka Fakultas Ushuluddin
Pada tahun pertama saya di Cipasung, yaitu tahun 1987, saya dan teman-teman di Cipasung merintis dibukanya fakultas baru, yaitu Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah, untuk melengkapi dua fakultas yang sudah ada yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Cipasung. Saya mendapat tugas sebagai Pembantu Dekan I dan mengajar mata kuliah Filsafat serta Metodologi Penelitian. Saat ini Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah sudah berubah menjadi Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.
Tahun 1984 saya juga ikut merintis dibukanya Fakultas Syari’ah, walau waktu itu saya masih lebih banyak di Bandung. Akhir tahun 1987 sampai sekarang, saya juga ikut mengajar di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Unsil
[Kampus Institut Agama Islam Cipasung]
Mempersiapkan Muktamar NU ke-29 di Cipasung
Hajat terbesar warga NU itu dilaksanakan di Pondok
Pesantren Cipasung 1 – 5 Desember 1994, tentu saja bagi saya merupakan pengalaman yang sangat
menarik. Persiapan untuk menyongsong hajat akbar itu membutuhkan energi yang besar, karena fasilitas
penginapan, MCK, dan lain-lain yang harus menampung peserta resmi kurang lebih 3500 orang
belumlah memadai, apalagi bila ditambah dengan pengamat, peninjau dan penggembira.
Alhamdulillah seluruh warga masyarakat pada saat itu bahu membahu dengan pemerintah daerah kabupaten Tasikmalaya dan propinsi Jawa Barat berusaha maksimal untuk menyukseskan acara tersebut. Rumah-rumah pendudukpun dipakai penginapan oleh para penggembira, termasuk beberapa disewa oleh stasiun-stasiun TV nasional. Karena akses jalan masuk ke pesantren pada saat itu sangat tidak memadai, maka pemerintah propinsi Jawa Barat membuat jalan baru yang layak, dan saat ini jalan itu diberi nama Jalan Muktamar NU ke 29. Lahan parkir yang luas juga dipersiapkan, sekaligus juga bisa dimanfaatkan untuk pendaratan pesawat-pesawat ukuran sedang.
Menjadi saksi muktamar Cipasung yang bersejarah
Aula juga dibangun untuk keperluan sidang pleno, yang kemudian menjadi saksi sejarah bagaimana perlawanan Gus Dur terhadap rezim pada saat itu, ketika beliau terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah. Yang paling membahagiakan saya adalah saat hari H saya bisa menatap wajah ulama-ulama seluruh Indonesia di rumah pak Kyai, karena memang tugas saya adalah menerima beliau-beliau. Yang juga sangat unik adalah bagaimana pada waktu itu Ibu Megawati ditemani Eros Jarot diledekin Mbah Lim, Kyai kharismatik dari Klaten yang “nyentrik” dan “nyleneh”.
Tentu cerita-cerita keunikan para kyai ini amat banyak bila harus diceritakan. Untuk melayani makan sehari-hari, jajaran TNI bersama ibu-ibu Muslimat siang malam menyiapkan masakan dengan penuh canda dan tawa. Alat-alat masak ukuran besar semua disiapkan oleh pihak TNI. Bahan baku berasal dari sumbangan masyarakat, seperti : sapi, kambing, ayam, telor, kelapa, pisang, sayur- mayur dan lain-lain. Pada saat muktamar itu, pak kyai (KH. Moh. Ilyas Ruhiat) terpilih sebagai Rais Aam dengan Wakil Rais Aam KH. M. A. Sahal Mahfudz dan Gus Dur sebagai
ketua Tanfidziyah.
Mendirikan Sekolah Tinggi Teknologi Cipasung
Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, terutama untuk meyakinkan keluarga besar Cipasung, adik-kakak pak Kyai yang berjumlah 27 orang dari dua ibu, maka pada tahun akademik 1997/1998 dibukalah dua jurusan, yaitu Jurusan Teknik Industri dan Teknik Lingkungan. Dengan dibukanya dua jurusan ini, maka Institut Agama Islam Cipasung diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Cipasung
Pendirian dua jurusan ini banyak dibantu oleh teman-teman alumni ITB angkatan 1977, terutama Idwan Santosa (SI 77), karena dialah ketua yang pertama. Syahril (SI 77), Indratmo (SI 77), Cahyono (SI 77) dan yang lain juga aktif membantu, bahkan Ali Fikri (TI 77), Eddy Entum (TI 77) dan Agus Trisantosa (EL 77) tercatat sebagai dosen dalam proses pendiriannya. Terimakasih untuk rekan-rekan semua.
Memasuki usianya yang ke 10, jumlah mahasiswa STT Cipasung belumlah menggembirakan, tapi bila ditinjau dari sudut pandang sebagai sebuah perjuangan yang ingin mencitrakan agar tidak terjadi pandangan dikotomis antara ‘ilmu agama’ dan ‘ilmu umum’ mulai ada tanda-tanda yang menggembirakan. Semoga kehadiran STT Cipasung semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Amin. Saya berharap teman-teman alumni ITB, khususnya alumni ITB angkatan 1977
dapat ikut serta berpartisipasi dalam mengembangkan STT Cipasung pada masa-masa yang akan datang.
Menerapkan teknologi sebagai strategi keunggulan di Usaha Kecil – Padi hibrida & Nilam Sebagai langkah awal pada bulan Januari 2004 STT Cipasung menyelenggarakan kegiatan seminar dengan tema : “Penerapan Teknologi Sebagai Strategi Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Menengah” kerjasama dengan Kementerian RISTEK/BPPT yang difasilitasi oleh Andi Eka Sakya (FI 77), Lisminto (TK 77) dan teman-teman termasuk LPPM ITB melalui Syahril (SI 77).
Tindak lanjut dari kegiatan ini diantaranya pengembangan budidaya Nilam dan proses penyulingannya di desa Padakembang. Selain itu adalah budidaya padi hibrida longping pusaka, yang alhamdulillah pada saat panen periode Desember- Januari menghasilkan produksi dua kali lipat dengan padi biasa, tetapi pada periode panen Maret – April ini hasilnya tidak menggembirakan, alias sama dengan padi biasa, bahkan beberapa diantaranya diserang hama tikus.
Kelihatannya masih panjang jalan yang harus dilalui untuk mendampingi dan memfasilitasi para petani. Kegiatan-kegiatan pemberdayaan kelompok tani ini diwadahi oleh Koperasi Kelompok Masyarakat Keluarga Besar Sekolah Tinggi Teknologi Cipasung disingkat KKB-STT Cipasung.
Alhamdulillah pada tahun 2007 ini STT Cipasung dapat membangun 2/3 gedung lantai dasar atas bantuan dari Dirjen Dikti, semoga denga adanya bangunan ini kiprah pengabdian STT Cipasung semakin membaik.
Kerjasama seluruh Pesantren dengan institusi-institusi Dunia – Pengembangan perpustakaan Pada bulan Juli 2004 kerjasama dengan Perpustakaan ITB melalui LPPM ITB difasilitasi Syahril (SI 77), dengan Forum Pesantren, INSIST Yogyakarta, Institut for Training and Development (ITD) Amherst, USA menyelenggarakan ‘Workshop Pengembangan Perpustakaan Pesantren’ dengan harapan agar pesantren-pesantren dapat menata dan mengembangkan perpustakaannya dalam rangka menjaga warisan tradisi intelektual pesantren dan upaya pengembangannya. Kegiatan ini diikuti 50 pesantren dari seluruh Indonesia.
Pada beberapa bulan terakhir ini STT Cipasung sedang intensif mendiskusikan desain kurikulum dengan berbagai pihak, yang muatannya mengarah pada penguatan UKM, diantaranya diskusi-diskusi itu secara rutin dilakukan dengan Universitas Kristen Maranatha, karena UK Maranatha punya pengalaman banyak dalam pengembangan ekonomi mikro.
Keluargaku
Sejak isteri saya selesai kuliah di tahun 1987, saya mulai tinggal di Cipasung. Isteri tercinta N Ida Nurhalida, lahir di
Tasikmalaya 14 Juni 1964, saat ini mengemban amanah sebagai Kepala Madrasah Aliyah Negeri Cipasung. Kami menerima titipan Allah SWT, 4 putra dan putri.
Pertama, Mohammad Sabar Jamil, lahir di Cipasung, Tasikmalaya, 12 Juli 1984. Saat ini dia sedang kuliah S-1 di Jurusan Ilmu Komputer, Extension FMIPA Unpad, setelah menyelesaikan program D-3 Instrumentasi dan Teknologi Komputer, Jurusan Fisika IPB, alhamdulillah cumlaude. Kedua, Ahmad Zamakhsyari Sidiq, lahir di Cipasung, Tasikmalaya, 8 Desember 1986. Saat ini kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITB semester 6, kelihatannya seneng juga aktif di kegiatan KM ITB, seperti pamannya Acep Zamzam Noor.
Puteri saya yang nomor tiga Ajeng Sabarini Muslimah, lahir di Tasikmalaya, 29 Mei 1990, sekarang sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Cipasung, kelas 2. Sedangkan putri yang keempat Hauna Taslima, lahir di Tasikmalaya, 6 Juli 1996, sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Cipasung kelas 5
Penutup & permohonan
Kelihatannya saya memang tidak bisa dipisahkan dengan pesantren, dan semoga jalan ini merupakan jalan terbaik yang dikaruniakan Allah kepada saya. Amin. Semoga pengalaman saya selama di ITB, terutama interaksi saya dengan teman-teman alumni ITB angkatan 1977 akan memberikan manfaat bagi pesantren. Saya sangat berharap masukan dari seluruh alumni ITB, terutama teman-teman ITB angkatan 1977 untuk meningkatkan peran pondok pesantren dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Apalagi saat ini saya mendapat amanah untuk mengurus
Asosiasi Pondok Pesantren (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) Propinsi Jawa Barat.
Tentang penulis (redaksi)
Abdul chobir adalah alumni jurusan Fisika. Ia saat ini menjabat sebagai Pimpinan Sekolah Tinggi Teknik Cipasung. Ia tinggal bersama keluarganya di lingkungan Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Berita Terkait :
https://yudhaps.org/2011/07/13/kh-abdul-chobir-hidup-seperti-air-mengalir-2/